Rabu, 16 Juni 2021

MENERIMA NASEHAT DARI SIAPAPUN

 🎙 Disampaikankan oleh: Al-Ustadz Usamah Mahri حفظه الله

Tidak seharusnya bagi orang
yang berakal, Ketika dia diberi rizki oleh Allah, diberi taufik,
untuk menjalankan ketaatan kepada Allah.

Yakni diberi taufik untuk ibadah, untuk taat, semangat dalam kebaikan.

Orang yang seperti ini, dalam kebaikan, dalam ketaatan, ketika melihat orang yang tidak seperti dia, kurang semangatnya dalam ibadah, kurang dalam ketaatan. Ah ini ada malasnya, ada ininya.

Maka tidak seharusnya orang yang berakal itu, kemudian
bermuka masam kepadanya, karena di anggap orang ini, tidak
seperti dia dalam semangat amal kebaikan, tidak seperti dia dalam keistiqomahan. Jangan kemudian kamu bermuka masam kepadanya.

Justru yang seharusnya, kamu tetap bermuka manis, menampakkan senyum kepadanya. Walaupun di bawah kamu ketaatannya, tidak seperti kamu istiqomahnya, senyumlah, ramahlah kepada-Nya.

Karena mungkin dalam ilmu Allah, dan hanya Allah yang tahu. Enggak lama orang itu, akan tobat, kembali kepada Allah, taat, ibadah, istiqomah. Mungkin saat
seperti itu, akan jauh lebih baik darimu sekarang.

Belum lagi kalau ditambah
dengan, kewajiban dia seharusnya bersyukur kepada Allah, banyak memuji Allah, karena
Allah-lah yang memberi taufik dia untuk ber-khidmat kepada-Nya.
(kepada Allah) sebelum dilanjut..

lafaz berkhidmat kepadanya, ini
tidak ada dalam nas. Enggak ada dalam nasus. Hamba berkhidmat
kepada Allah Istilah ini marufnya di kalangan sufi. Sering menggunakan kalimat
ini, (khidmat) yang ada dalam nusus yang kita
tahu, lafat ketaatan, taat dan itu makruf banyak, ati'ullah (taati Allah), ibadah.

Lafadz ibadah ada, lafat taat ada, tapi khidmat enggak ada. Kamu cari ayat, Hadis, enggak ada. Karena ini, membawa, makna negatif (makna jelek).

Khidmat itu layanan, pelakunya, khodim (yang melayani), berarti ada pihak, objek yang dilayani. Layaknya pelayan dan yang dilayani berarti ada hubungan kebutuhan. Orang yang butuh pelayan kan, berarti dia lemah, enggak mampu menyelesaikan semua urusannya, capek atau ini kan begitu, makanya, misalnya kalau di rumah
tangga, ya karena si ibu, enggak kuat anaknya banyak, nyuci
pakaian, ini, itu, butuh pelayan dan makna ini jelek, dan tidak Boleh dinisbatkan kepada Allah.

Makanya enggak ada, cuma mungkin rahimahullah Ibnu Hibban, mungkin istilahnya, tanpa kesengajaan dari beliau, itu husnuzan yang wajib
bagi kita kepada beliau.

Tidak sengaja atau terucap, karena itu, yang makruf dan banyak digunakan. Tapi tetap lafazh ini tidak seharusnya dipakai.

Kembali kepada
penjelasan beliau bahwa, intinya beliau ingin jelaskan, kamu, kalau
merasa Allah beri, kepadamu, semangat dalam ketaatan, ibadah, kuat dalam istiqomah. Saat berjumpa, melihat orang yang
tidak, seperti kamu, ini kurang istiqomahnya, kurang ketaatannya,
karena satu dan lain hal.

Mungkin karena masih jahil (jauh dari ilmu), pengaruh teman, lingkungan, ada saja.

Kamunya,
jangan kemudian, sinis kepadanya, sebagian orang, ketika berjumpa dengan orang yang seperti ini: Menampakkan sinis. Apalagi diketahui ini orang baru, baru ngaji, baru belajar, baru tampak
wajahnya, kemudian sinis gitu.

Ini kan menunjukkan, dia sadari atau tidak, ada makna takabur pada dirinya, seakan dia berkata, seakan: Kamu enggak seperti saya, kamu di bawa saya. Ketaatanmu, istikamahmu sehingga, dia masam wajahnya, tidak ada keramahan dia tampakkan, tidak ada kelemah-lembutan, senyum manis. Itu yang
ingin disampaikan oleh beliau jangan.

Beliau nasehatkan tetaplah senyum ramah. Karena bisa jadi ketika orang ini nanti, Allah beri taufik, kembali tobat, baik akan lebih baik kondisinya, darimu sekarang.

Maka jangan pernah merendahkan orang, dan
itu makna tawadu yang sesungguhnya.

Hakikat tawadu itu
ketika kamu tidak menganggap dirimu lebih baik dari orang
lain.

Sumber: t.me/nasehatinspirasi